Rasa
jengah membawaku sampai ke warung kopi. Menemui segala sesuatu yang tak
ku tau. Menangisi diri dengan sebuah kesadaran yang membuatku sakit:
ternyata aku masih sangat bodoh. Aku mesih harus banyak belajar. Tapi
dengan apa? Aku malas melakukan sesuatu. Entah berapa hal busuk
mencemari sungai di otakku, hingga yang kurasakan sekarang sungai itu
telah menjadi selokan yang sekaligus menjadi sarang tikus. Mengerikan,
bukan?
Di
warung, aku kembali melihat wajah Sapari – kawan (penjaga warkop) –
yang sedang resah. Setelah ia membuatkan kopi untukku, ia menghampiriku,
duduk di sebelahku dan bicara dengan nada yang setengah berbisik: “Tra, koen ngerti nggone ramayana nang Suroboyo? (Tra, kamu tau tempat ramayana di Surabaya?)”
Aku mengangguk, “Yo, ramayana endi? Ramayana Suroboyo iku akeh (ya, ramayana yang mana? Ramayana di Surabaya itu banyak)”
Kini
wajahnya nampak murung. Ia berdiri dan meninggalkan aku kembali ke
tempatnya biasa duduk. Kali ini ia melempar suntuknya dengan membenamkan
diri dalam acara bola.
Tiba-tiba seorang lelaki menggebrak meja karena kalah taruhan. Wajahnya (sapari) semakin muram. Ada apa dengan orang itu?
Tak
berselang lama, ketika aku sedang menekuri teks jurnal, seorang ibu-ibu
yang biasa ku lihat sedang resah dengan keranjang di lengan kirinya. Ia
menanyakan apa benar sepeda yang diparkir di depan warkop itu adalah
sepedaku. Aku mengangguk, ia memintaku mengantarkannya sampai ke
rumahnya di sadang dengan upah Rp.2000. Perempuan itu juga menawari aku
jajanan yang dibawannya.
Ku
lirik Sapari. Ia mengisyaratkan agar aku menolak tawaran perempuan tua
itu, tapi aku yang menolak isyarat Sapari. Aku memilih mengantar
perempuan tua itu pulang. Sebab ia tak akan mendapatkan bemo di jam-jam
seperti ini. Waktu menunjukkan pukul 23.30 malam.
Sepanjang
perjalanan, perempuan itu terus saja bicara banyak persoalan yang tak
ku mengerti. Soal suaminya yang kuliahnya dulu tak selesai, soal
suaminya yang suka menggoda perempuan-perempuan muda dan uangnya habis
dengan mereka, atau tentang pekerjaan suaminya yang sering
dipindah-pindah.
Aku
jadi kembali berpikir, apa sedemikian tengik hidup bersama dalam rumah
tangga hingga kita mesti mencari alternatif lain di luar?
Aku
tak tau, atau paling tidak belum pernah merasakannya! Maaf, bu, saya
tak berhak menjawab pertanyaanmu. Aku sendiri belum menikah; kau yang
perlu mendengarkan keluh kesahku. Agar aku tak menjadi lelaki macam
suamimu. Lalu bagaimana aku bisa menyebut suami macam apa lelakimu itu.
Suamimu itu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar