Ketika malam mencoba menemani aku dalam
memahami sebuah lintasan fikiran yang tiba-tiba muncul dan menuntut
untuk di selesaikan. Segelas kopi dan sebungkus rokok yang rasanya tidak
penah putus di bibirku seakan menjadi zikir panjang di malam-malam
lelah.
Begitu
pula dunia serta kepastian akan kehidupan yang juga tidak pernah
berhenti untuk berjalan. Ketika kenikmatan akan terus menjadi sebuah
kenikmatan. Begitu pula dengan kesedihan dan kesengsaraan yang selalu
mengulang bentuknya sedemikian rupa.
Kaya
makin kaya dan yang miskin makin miskin. Mungkin hal ini hanya berlaku
di Indonesia yang tingkat masokis serta rasa apatis rakyatnya sudah
melebihi dosis. Saudara-saudara hal ini tidak bisa kita biarkan terus
berlanjut. Toh hidup hanya sekali. Tidak perlu lah kita bersusah-susah.
Lha wong pesugihan gunung kawi masih berdiri. Makam Mbah Bodong buka dua
puluh empat jam non stop. Tidak usah malu dan coba melarang apa yang
telah ada. Inilah satu-satunya kesangupan kita ketika nilai-nilai hukum
telah dikencingi oleh wong pinter yang mbalelo.
Kebijakan-kebijakan
dibuat seolah-olah kita adalah anak TK. Kenaikan BBM yang mengimbas
pada harga-harga yang lain dan banyak lagi ke mbalelo-an yang
diciptidakan wong pinter dkk. Yang menjadi kaya di hari ini akan tetap
menjadi kaya sampai kapanpun. Begitu pula sebaliknya. Sehingga begitu
jelas berulangnya putaran roda nasib yang seakan akan tampak mandeg di
tengah jerit banyak orang.
Apa
dosa Indonesia hingga bisa jadi seperti ini? Apa ketika Indonesia
berdiri ditandai dengan ‘mansturbasi’ dan ‘onani’ masal para pemimpin
dan rakyatnya? Masa pembangunan dan bangkit dari tidur panjang diawali
dengan menciptidakan kesenangan pribadi di luar hakekat hak dari kesenangan
itu sendiri, tentunya setelah kewajiban selesai. Seperti kenikmatan
orang onani dengan senggama itu hampir sama. Jadi para pemimpin
mengambil jalan pintas menuju orgasme tanpa melalui sengama jadi
langsung lewat onani.
Mari
para saudaraku yang memang ‘putus asa’, mengapa kita sekarang tidak
mengadakan kontes pagelaran frustasi masal. Misalnya dengan kontes onani
masal di tengah lapangan terbuka dan pemenangnya akan di traktir
supermi, sebatang rokok, dan kopi. Semua boleh turut serta. Siswa SD
sampai presiden. Apa lagi yang kita tunggu? Aparat hukum sudah katok.
Giginya sudah kampong. Keadaannya bagai macan impoten. Gairah dan
ketegasannya muncul hanya pada orang miskin. Colek saja pantatnya dan
teplok mukanya yang merangsang itu dengan cemban atau paling tidak bisa
dibuat beli jeans dan nambah istri simpanan lagi barang tiga atau empat.
Pasti semua jadi mudah dan bisa diatur. Karena inilah yang dinamakan
perwujutan keseriusan kita dan sikap tidak setengah-setengah.
Pemerintahnya
frustasi, rakyatnya frustasi, pemuka agamanya frustasi, aparatnya
frustasi, mahasiswanya frustasi dan yang terakir yang nulis juga orang
frustasi. Klop banget dah. Ayo sodara-sodara mengapa kita tetap bermuram
durja dengan beban masalah ini. Mengapa tidak mau ikut euvoria
frustasi. Atau takut banyak orang tau tentang
perilaku kita? Saya rasa tepikan dululah rasa yang kurang beralasan itu.
Harap di sadari saudara-saudara. Kita di alam Indonesia. Atau tepatnya
di sorga yang kualitas kenikmatannya tidak beda jauh lah dengan sorganya
tuhan.
Bisa dikatakan Indonesia adalah sebuah negeri impian yang di dalam nya terdapat sebuah alam dimana dagelan
lucu yang bernama demokrasi bertebaran. Konon ilmu ini di dapat dari
anak-anak muda yang membaca buku dan mengikuti wacananya tanpa reserve.
Kemudian negeri ini dipercantik dengan ornamen-ornamen kebebasan ber-KKN
ria. Agama dan budaya hanya sekedar hiasan formalitas saja. Pendidikan
politik nomer sekian. Yang penting adalah bagaimana kita bisa hidup dan memerkosa kepentingan orang banyak. Serta membangun dan membangun lagi. Hidup membangun!
Negara
sibuk menciptidakan proyek untuk menyelengarakan rasa takut rakyat pada
Negara. Bermilyaran sudah dihabiskan alam proyek ‘gendeng’ ini.
Kemudian doktrin-doktrin juga di suntik kan kepeda bocah-kecil. “hayo
nanti kalo nakal tak bilangin pak polisi”. Negara sanggup dan menganggap
‘perlu’ untuk menyelengarakan proyek goblokisasi, mbaleloisasi, dan
nggendengisasi. Namun proyek pengentasan gelandangan di rel-rel kreta
api merupakan nomor ke dua ratus tujuh puluh.
Belum
lagi masalah salah kaprah yang terjadi di kalangan kita semua. Terutama
para aparatnya. Mungkin sudah kesekian kalinya pemerintah merasa
bahwasannya mereka adalah juragan yang harus dilayani oleh para jongos
yang tidak lain adalah rakyat. Kliru toh, gila toh
pemikiran ini. Dan yang lebih gila lagi bilamana kita ikut dalam barisan
kegilaan ini. Termasuk saya yang menuliskan kegilaan ini. Ya sudahlah
saudara-saudara. Nasi telah menjadi bubur. Kegilaan den penyelewengan
ini sudah dalam keadaan yang begitu parah. Semua itu telah menutupi
nalar serta rasionalitas kita dan kesanggupan kita untuk melawan karena
energi kita telah habis. Ini lah keadaan sesungguhnya Indonesia tecinta.
Begitu beratnya semua masalah yang ada karena memang cobaan atau memang
sengaja di ciptakan hingga kita menjadi manusia yang hidup dengan
menggegam sedikit sekali kemungkinan-kemungkinan.
Tidak
perlu sedih dan gusar. Adanya masalah bukan berarti tuhan tidak sayang
dengan kita. Mungkin kita ‘dianggap’ kaum yang lebih siap dari bangsa
lain dalam menghadapi keadaan yang memilukan ini. Kemudian toh kita juga
masih punya Tuhan yang selalu siap mendengar keluh kesah kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar