Enrich your website with powerful apps



Translate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Senin, 12 November 2012

Lomba Onani

Ketika malam mencoba menemani aku dalam memahami sebuah lintasan fikiran yang tiba-tiba muncul dan menuntut untuk di selesaikan. Segelas kopi dan sebungkus rokok yang rasanya tidak penah putus di bibirku seakan menjadi zikir panjang di malam-malam lelah. 

Begitu pula dunia serta kepastian akan kehidupan yang juga tidak pernah berhenti untuk berjalan. Ketika kenikmatan akan terus menjadi sebuah kenikmatan. Begitu pula dengan kesedihan dan kesengsaraan yang selalu mengulang bentuknya sedemikian rupa.

Kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Mungkin hal ini hanya berlaku di Indonesia yang tingkat masokis serta rasa apatis rakyatnya sudah melebihi dosis. Saudara-saudara hal ini tidak bisa kita biarkan terus berlanjut. Toh hidup hanya sekali. Tidak perlu lah kita bersusah-susah. Lha wong pesugihan gunung kawi masih berdiri. Makam Mbah Bodong buka dua puluh empat jam non stop. Tidak usah malu dan coba melarang apa yang telah ada. Inilah satu-satunya kesangupan kita ketika nilai-nilai hukum telah dikencingi oleh wong pinter yang mbalelo. 

Kebijakan-kebijakan dibuat seolah-olah kita adalah anak TK. Kenaikan BBM yang mengimbas pada harga-harga yang lain dan banyak lagi ke mbalelo-an yang diciptidakan wong pinter dkk. Yang menjadi kaya di hari ini akan tetap menjadi kaya sampai kapanpun. Begitu pula sebaliknya. Sehingga begitu jelas berulangnya putaran roda nasib yang seakan akan tampak mandeg di tengah jerit banyak orang. 

Apa dosa Indonesia hingga bisa jadi seperti ini? Apa ketika Indonesia berdiri ditandai dengan ‘mansturbasi’ dan ‘onani’ masal para pemimpin dan rakyatnya? Masa pembangunan dan bangkit dari tidur panjang diawali dengan menciptidakan kesenangan pribadi di luar hakekat hak dari kesenangan itu sendiri, tentunya setelah kewajiban selesai. Seperti kenikmatan orang onani dengan senggama itu hampir sama. Jadi para pemimpin mengambil jalan pintas menuju orgasme tanpa melalui sengama jadi langsung lewat onani.

Mari para saudaraku yang memang ‘putus asa’, mengapa kita sekarang tidak mengadakan kontes pagelaran frustasi masal. Misalnya dengan kontes onani masal di tengah lapangan terbuka dan pemenangnya akan di traktir supermi, sebatang rokok, dan kopi. Semua boleh turut serta. Siswa SD sampai presiden. Apa lagi yang kita tunggu? Aparat hukum sudah katok. Giginya sudah kampong. Keadaannya bagai macan impoten. Gairah dan ketegasannya muncul hanya pada orang miskin. Colek saja pantatnya dan teplok mukanya yang merangsang itu dengan cemban atau paling tidak bisa dibuat beli jeans dan nambah istri simpanan lagi barang tiga atau empat. Pasti semua jadi mudah dan bisa diatur. Karena inilah yang dinamakan perwujutan keseriusan kita dan sikap tidak setengah-setengah. 

Pemerintahnya frustasi, rakyatnya frustasi, pemuka agamanya frustasi, aparatnya frustasi, mahasiswanya frustasi dan yang terakir yang nulis juga orang frustasi. Klop banget dah. Ayo sodara-sodara mengapa kita tetap bermuram durja dengan beban masalah ini. Mengapa tidak mau ikut euvoria frustasi. Atau takut banyak orang tau tentang perilaku kita? Saya rasa tepikan dululah rasa yang kurang beralasan itu. Harap di sadari saudara-saudara. Kita di alam Indonesia. Atau tepatnya di sorga yang kualitas kenikmatannya tidak beda jauh lah dengan sorganya tuhan. 

Bisa dikatakan Indonesia adalah sebuah negeri impian yang di dalam nya terdapat sebuah alam dimana dagelan lucu yang bernama demokrasi bertebaran. Konon ilmu ini di dapat dari anak-anak muda yang membaca buku dan mengikuti wacananya tanpa reserve. Kemudian negeri ini dipercantik dengan ornamen-ornamen kebebasan ber-KKN ria. Agama dan budaya hanya sekedar hiasan formalitas saja. Pendidikan politik nomer sekian. Yang penting adalah bagaimana kita bisa hidup dan memerkosa kepentingan orang banyak. Serta membangun dan membangun lagi. Hidup membangun!

Negara sibuk menciptidakan proyek untuk menyelengarakan rasa takut rakyat pada Negara. Bermilyaran sudah dihabiskan alam proyek ‘gendeng’ ini. Kemudian doktrin-doktrin juga di suntik kan kepeda bocah-kecil. “hayo nanti kalo nakal tak bilangin pak polisi”. Negara sanggup dan menganggap ‘perlu’ untuk menyelengarakan proyek goblokisasi, mbaleloisasi, dan nggendengisasi. Namun proyek pengentasan gelandangan di rel-rel kreta api merupakan nomor ke dua ratus tujuh puluh.

Belum lagi masalah salah kaprah yang terjadi di kalangan kita semua. Terutama para aparatnya. Mungkin sudah kesekian kalinya pemerintah merasa bahwasannya mereka adalah juragan yang harus dilayani oleh para jongos yang tidak lain adalah rakyat. Kliru toh, gila toh pemikiran ini. Dan yang lebih gila lagi bilamana kita ikut dalam barisan kegilaan ini. Termasuk saya yang menuliskan kegilaan ini. Ya sudahlah saudara-saudara. Nasi telah menjadi bubur. Kegilaan den penyelewengan ini sudah dalam keadaan yang begitu parah. Semua itu telah menutupi nalar serta rasionalitas kita dan kesanggupan kita untuk melawan karena energi kita telah habis. Ini lah keadaan sesungguhnya Indonesia tecinta. Begitu beratnya semua masalah yang ada karena memang cobaan atau memang sengaja di ciptakan hingga kita menjadi manusia yang hidup dengan menggegam sedikit sekali kemungkinan-kemungkinan. 

Tidak perlu sedih dan gusar. Adanya masalah bukan berarti tuhan tidak sayang dengan kita. Mungkin kita ‘dianggap’ kaum yang lebih siap dari bangsa lain dalam menghadapi keadaan yang memilukan ini. Kemudian toh kita juga masih punya Tuhan yang selalu siap mendengar keluh kesah kita.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...