Apa
yang ada dipikiranmu ketika aku menyebut kata autis? Apa kau akan mengerenyitkan dahi, heran, atau justru sok cuek, macak bodo, macak longor, atau
justru terkejut dengan muka penuh perhatian dan guling-guling di tanah?
Bagus! Jangan sampai Anda melakukan hal yang terakhir. Bodoh namanya.
Karena ini juga tulisan yang tidak penting untuk diperhatikan, tidak
masuk unas, SMPTN, dan juga jadi pitakon kubur. Jadi nyantai saja.

Autis
ternyata bukan hanya sebuah kelainan dan gangguan psikologis pada
seseorang dimana itu menghambat perkembangan mentalnya (ngawur). Autis
juga bisa berarti sedang sok cuek, mengerenyitkan dahi, macak bodo, macak longor (seperti apa yang lakukan tadi. hahahaha) .
Seperti
yang sedang saya alami tiga hari ini. Berdiam diri di tempat yang sama,
tidak kemana-mana sepanjang siang, malam, hanya untuk ndalbo (baca:
ngeblog). Ini terjadi ketika aku kembali menemukan paswordnya (sudah ku
jelaskan di posting sebelumnya) dan karena inilah aku menjadi autis.
Tidak beranjak kecuali pipis, makan, sholat, mengambil buku, dan beli
rokok. Aku menyadari begitu simpel alasan seseorang untuk tiba-tiba
menjadi autis, sehingga hampir disepanjang hidup kita –karena ada banyak
hal yang datang dan pergi- maka besar kemungkinan kita telah pandai
untuk urusan ber-autis ria.
Karena autis, mungkin di sekitar kita sudah banyak yang mati karena sikap kita: konflik palestina, konflik papua, urusan GAM, jutaan
orang kelaparan di berbagai belahan dunia, mereka yang mati di jalanan
akibat diusir dari RS, dll. Sementara kita merasa seperti tidak terjadi
apa-apa dan semua berlalu begitu saja. Yang pemerintah sibuk urusan nama
baik; SBY gembeng terus aja caper; pers ngurusi Nazarudin kempung; pers mahasiswa ngurusi agenda pembunuhan Tuhan ramai-ramai; ada yang ngurusi fashion; ada yang ngurusi blognya (saya); ada yang sedang baca blog saya sambil berlagak bodoh, sok cuek.
Jadi
begitu mudah kita terjebak pada sesuatu amoral yang tidak punya hati.
Apa lagi? Mau protes, tidak terima, tidak ada sebutan lain kecuali
amoral yang tega membiarkan orang di sekitarnya mati.
Jadi lebih baik mana: kita sok cuek, berlagak bego, atau sebaliknya
guling-guling di tanah? Atau malah mulai berpikir: apa yang harus aku
lakukan Tuhan? Atau….
Nb: ini bukan sedang memarahi atau menyinggung anda. Sebab saya sedang mengingatkan diri saya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar