Pada zaman purba, kepulauan tanah air
disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan
kepulauan tanah air dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai
catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan
Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata.. Sansekerta dwipa
(pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga
Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik
Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang)
yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa”
oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Dalam
bahasa Arab juga dikenal Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi),
Sundah (Sunda), semua pulau itu dikenal sebagai kulluh Jawi (semuanya
Jawa).
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia
hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka,
daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah
“Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan
daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air
memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian
Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East
Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan
Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).
Pada jaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah
Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan
Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes
Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah
mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air
kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa
Latin insula berarti pulau).
Awalnya Nusantara
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker
(1879-1950), yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik
Multatuli), memperkenalkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak
mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara,
suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi
mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang
ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A.
Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan
pengertian nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara
digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam
bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa
(Pulau Jawa). Sumpah Palapa dari Gajah Mada tertulis “Lamun huwus kalah
nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang,
barulah saya menikmati istirahat).
Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi
jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil
kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru
yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun
termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari
Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai
alternatif dari nama Hindia Belanda. Sampai hari ini istilah nusantara
tetap dipakai untuk menyebutkan wilayah tanah air dari Sabang sampai
Merauke.
Awal Mula Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA),
yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang
Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh.
Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George
Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi
majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis
artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and
Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa
sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu
untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia
tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl
mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam
bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis:
“… the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians”.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu)
daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat
untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon
(Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa
Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl
memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah
Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson
Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal
tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan
tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan
membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan
huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka
lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan:
“Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago”.
Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari
bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu
Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam
tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini
menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang
bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die
Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil
penelitiannya ketika mengembara ke tanah air pada tahun 1864 sampai
1880.
Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di
kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah
“Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara
lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918.
Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan
Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah
Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri
Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama
Indonesische Pers-bureau. Nama indonesisch (Indonesia) juga
diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia) oleh Prof Cornelis van
Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesiƫr (orang Indonesia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar