Enrich your website with powerful apps



Translate

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Senin, 12 November 2012

Hidupku yang Brengket 2

Ini sudah siang, pukul 12.28 pm.
Bosan. Duduk di ruang kerjaku, ruang yang pernah kuceritakan padamu: ruang sempit dengan pembatas banner sisa-sisa.
Haus rasanya. Tak ada yang bisa ku minum kecuali kopi pahit sisa semalam yang kubeli dengan Ghinand. Ia sedang menerapkan program belajar yang pernah aku pakai sewaktu SMA sampai menjelang kuliah. Pukul dua pagi, ia kubangunkan dan membaca-baca sampai subuh tiba, kemudian dilanjutkan dengan menulis selama satu jam sampai menjelang waktu kuliah. Aku senang anak itu menurut, ia mau diarahkan untuk jadi lebih baik. Tapi, apa dia akan jadi lebih baik dengan aku arahkan demikian? Aku tidak tau, yang pasti dia harus jadi seseorang yang cerdas, tapi bukan kopian dari diriku (mohon jangan anggap aku cerdas, sebab aku sering merasa bodoh).
Baru saja aku menelfon dosenku dan membikin janji untuk bertemu malam ini di kontrakannya. Aku akan bimbingan skripsi: rutinitas paling purba yang dulu kutentang mati-matian, tapi sekarang aku lakukan dengan patuh. Berkutat pada teori yang sombong dengan memetakan manusia dan menganggap dunia hanya akan bekerja dengan metodenya yang kaku. Bagiku, kemanusiaan lebih agung ketimbang sebuah teori yang dengan piciknya mengkotakkan dunia.
Kau tau? Ah, kau pasti tidak tau. Tapi tidak apa-apa, aku ceritakan saja ya! Dan kau harus menyimak. Ini soal kuliah yang kuanggap sebagai sebuah kesalahan yang paling fatal. Tapi, aku terlambat. Aku sudah tua di bangku kuliah, dan aku harus menyelesaikan; mau tak mau. Kalau saja aku bisa kembali memutar waktu untuk kembali pada saat menjadi mahasiswa baru, dengan kesadaran seperti sekarang, mungkin aku sudah hengkang dan memilih untuk mengembara. Sesuatu yang pernah ku bahasakan dalam sajak: di kota-kota yang dilukis telanjang, di sanalah aku akan pergi. Tapi dimana kota-kota yang kumaksudkan dalam sajak itu? Jogja, kah? Atau mungkin Solo? Pemberhentian dengan wangi sihir di ketiaknya. Membuatku selalu merasa “mabuk” rindu candu. Di kota yang menjadi tujuanku, aku akan berproses sendiri dengan Kitab Tuhan paling sakti, kitab yang butuh jutaan tahun menerjemahkannya; master piece ciptaan Tuhan – manusia.
Aku merasai waktu aku menjadi bebal sudah semakin dekat, sesuatu yang membuatku gila dini. Ayoh, ada yang tertarik menjadi gila di usia muda?

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...