Kita
tahu untuk menjadi terkenal memang membutuhkan semacam pelecut nama,
istilah kerennya sensasi. Dari sinilah kita akan di ekspose, kemudian
dikenal lantas nama melejit – soal sensasi yang baik atau buruk itu
urusan nanti – yang penting adalah bagaimana bisa terkenal itu yang
utama. Ya setidaknya bisa sedikit meringankan beban humas Unijoyo dalam
hal promosi – sekalipun di kalangan calon mahasiswa hidung belang. Tapi
bagi saya perlu saya garis bawahi disini adalah masalah sensasi ini
bukan karya dari dalam jajaran rektorat, dekanat sampai di tataran
jurusan untuk melejitkan nama Unijoyo di dunia luar. Dan sekali lagi ini
hanya parodi yang lahir dari mahasiswa Unijoyo sendiri dan kabetulan
realitas ini menjadi hiburan bagi saya selepas stess karena tugas dari
jurusan komunikasi.
Kembali
lagi ke masalah melejitnya nama Unijoyo di kampus-kampus lain. Terus
terang saya tertegun dan kaget, ketika teman saya mengatakan bahwasannya
kampus kita terkenal. Saya begitu antusias mendengarkan – apa mungkin
Unijoyo kini mendapat prestasi akademik di luar hingga mengalahkan
Unair, Brawijaya dan UGM. Atau mungkin UI misalnya. Saya begitu tak
sabar mendengar kelanjutan cerita teman saya.
Di
benak saya waktu itu adalah Unijoyo terkanal insan akademiknya
disamping Unijoyo yang terkenal sebagai kampus perjuangan. Saya pasti
menitikkan air mata bila mana itu benar terjadi. Apalagi itu di mata
kampus yang namanya tak bisa diremehkan. Dan setelah teman saya
menceritakan kelanjutan ceritanya, saya menjadi amat tertegun dan
sedikit nyengir. “Bagaimana tidak. Di unijoyo terkenal ada nama gang
dolly n gang texasnya” lanjutnya sambil tertawa ngakak. “Dasar mahasiswa
komunikasi gendeng. Berita kayak gitu kog ngakak”. Dan kemudian saya memafhumi. Kalau tak seperti itu bukan komunikasi namanya.
Ya
Tuhan apalagi cobaanmu ini. Kampusku terkenal memiliki lingkungan kos
mahasiswa yang bernama gang dolly dan gang texas. Kabarnya gang dolly
dan gang texas du jadikan sebuah simbol hedonisme yang ada di lingkungan
kampus Unijoyo.
Batapa
saya tidak mengelus dada. Realita semacam itu menjadi bahan
perbincangan dan sesuatu yang lux bagi mahasiswa universitas gede itu.
Sekalipun kita ketahui bersama bahwasannya semua kampus yang
menertawakan kita pasti juga memiliki realita semacam ini juga di
kampusnya. Hanya saja perbedaannya, kita lebih senang berlari dengan
menunjukkan boroknya kita. Apa memang ini yang menjadi budaya di kampus
yang terletak di pulau garam ini. Dan kalau memang bener, ya sudah
sekalian saja kita rusak-rusak sekalian. Tak perlu lah kita
menutup-nutupi kebusukan kita kalau nyatanya memang sudah tercium
baunya. Bisa dibilang hedonisme-hedonisme aja, tak perlulah kita ngomong
perjuangan, agama, dan moral kalau nyatanya pelacuran di
kampung sendiri kita menutup mata. Sekalipun saya tahu bahwa realita ah
ih uh ah ih uh yes no di gang dolly dan gang texas bukan merupakan
cerminan dari keseluruhan masyrakat unijoyo. Tapi paling tidak mewakili
lah.
Tapi yang
mengherankan adalah fenomena semacam itu merupakan hal yang biasa di
kalangan mahasiswa Unijoyo sendiri. Kemudian lahirnya parodi ini kalau
saya lihat telah lahir dari pikiran kreatif dari
para pecandu warung kopi dan rokok itu sendiri. Dan kalau kita tanya apa
yang membuat mereka menamainya (gang dolly dan gang texas) hingga kini
bisa sampai terdengar di kampus yang nun jauh di sana.
Lantas dimana kebanggaan dari para aktivisnya yang ngomong ngalor
ngidul masalah negeri ini dengan mulut berbusa di depan orang banyak
tapi resletingnya terbuka lantas kelaminnya keluar. Ngomong masalah
nasionalisme, agama, negara, perjuangan, tapi memperjuangkan hal yang di
depan mata saja kita malas.
Yang
menjadi pertanyaan adalah, apa realitas melejitnya nama Unijoyo ini
memang sengaja di banggakan dan di sebarkan oleh para mahasiswa unijoyo
sendiri, atau memang sudah menjadi takdir tuhan? Atau mungkin ini sebuah
lecutan agar pihak intern kampus lebih kreatif dalam melejitkan nama
Unijoyo di dunia luar. Dan lecutan untuk para mahasiswa, agar lebih bisa
menjual sesuatu yang mungkin dapat lebih di banggakan, ketimbang oleh
realita gang dolly dan gang texas.
Inikah
wajah Unijoyo. Sebuah kampus yang mahasiswanya meletakkan masalah sex
tak lagi di sebuah ritus suci pelaminan dan ranjang pengantin. Tapi
kemudian mengesernya menjadi hal remeh yang bisa dilakukan dimanapun.
Dan bebas pula. Kemudian dimana sisi religiusitas dari pulau Madura itu
sendiri. Yang menjadikan sebuah ciri yang tidak dimiliki oleh kampus
lain – ya setidaknya meskipun kalah di bidang yang akademik, setidaknya
religiusitas mahasiswanya bisa nomor satu lah – atau mungkin
perjuangannya yang kabar burugnya mulai melempem. Dan ternoda urusan duid.
Lantas
di tempat mana lagi kita akan menyembunyikan wajah kita. Di lipatan
bantal tempat kita tidur, buku, organisasi eksternal, atau
di lipatan BRA kekasih kita yang kita telanjangi di kos. Sudah macetkah
daya dari mesin kreatifitas mahasiswa di Unijoyo? Jawaban itu sudah
tidak perlu kita bawa ke Mama Lauren. Tapi dengan kita mengamati unijoyo
dari dekat sekali. Dimana mata kita akan silau dengan tragedi dan
berbagai hal ironi yang ada di dalamnya.
Mungkin
yang dapat saya kemukakan adalah bagai mana kita mulai dongkrak nama
kampus perjuangan ini dari perjuagan yang paling kecil hingga lebih
besar. Tak perlu lah kita meletakkan perjuangan rakyat sebagai masalah
nomor 1 tapi nyatanya perjuangan membentuk nama baik kampus di jadikan
urusan nomor duaratus tiga puluh sembilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar